Nilai bathiniah puasa

Dari Al-Ihya Ulumiddin, Imam Al-Ghazaly

Ketahuilah bahwa ada tiga peringkat puasa, yakni

  1. puasa yang umum
  2. puasa yang khusus
  3. puasa yang terkhusus dari yang khusus

Puasa yang umum adalah menahan diri dari nafsu makan dan nafsu seksual, seperti telah dijelaskan sebelum ini.

Adapun puasa khusus adalah, disamping hal-hal diatas, menahan pendengaran, penglihatan, lidah, tangan, kaki serta seluruh anggota badan dari melakukan sesuatu yang dapat mendatangkan dosa.

Sedangkan puasa yang terkhusus di antara yang khusus, disamping hal-hal yang tersebut diatas, ialah puasanya hati dari niatan-niatan yang rendah dan pikiran-pikiran duniawi serta memalingkan diri secara keseluruhan dari segala sesuatu selain Allah SWT. Puasa seperti ini dianggap batal dengan tertujunya pikiran kepada selain Allah SWT dan Hari Akhir, atau dengan memikirkan tentang dunia, kecuali sesuatu dari dunia ini yang dimaksudkan dengan agama. Yang demikian itu termasuk bekal akhirat dan tidak termasuk bekal dunia.

Mengenai hal tersebut, beberapa dari arbab al-qulub (yakni orang-orang yang telah tercerahkan hati nuraninya) berkata, “Barang siapa tergerak himmah (tekad)-nya untuk mengerjakan sesuatu di siang hari guna mendapatkan sesuatu yang dimakan pada saat berbuka, maka perbuatannya itu akan dicatat dosa akan dirinya. Sebab yang demikian itu bersumber dari kurang kepercayaan akan karunia Allah SWT serta sedikitnya keyakinan akan rizki-Nya yang dijanjikan.”

Inilah peringkat para Nabi, shiddiqin dan muqarrabin. Tidak perlu berlama-lama membicarakan perinciannya, tapi yang lebih penting ialah men-tahqiq-kan (menekankan) pengamalannya. Yakni menghadapkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT, serta memalingkan diri dari apa saja selain-Nya.

Adapun yang di maksud dengan puasa khusus (yakni yang berada di bawah tingkatan puasa yang terkhusus di antara yang khusus) ialah puasanya orang-orang shalihin. Hal ini dapat dicapai dengan menahan anggota-anggota tubuh dari perbuatan-perbuatan yang mendatangkan dosa. Dan untuk kesempurnaannya perlu dipenuhi enam hal :

1. Dengan menundukkan pandangan mata serta membatasinya sedemikian rupa sehingga tidak tertuju kepada segala yang tercela atau yang dapat menyibukkan hati dan membuatnya lalai akan ingat kepada Allah SWT. Sabda Rasulullah saw :

“Sekilas pandangan mata adakalanya merupakan sebuah anak panah yang berbisa di antara panah-panah Iblis yang terkutuk. Maka barang siapa menahan dirinya dari pandangan seperti itu, karena rasa takutnya kepada Allah, maka Allah SWT akan melimpahkan kepadanya keimanan yang terasa amat manis dalam hatinya.”  (HR. Al-Hakim yang mensahihkan riwayatnya dari Hudzaifah)

Jabir ra meriwayatkan dari Anas ra bahwa Rasulullah saw pernah bersabda,

“Lima perkara dapat membatalkan puasa seseorang : ucapan bohong, ghibah (bergunjing), fitnah, sumpah palsu dan pandangan yang bernafsu (memandang dengan syahwat).” (HR. Al-Adziy).

2. Menjaga lidah dari ucapan yang sia-sia, dusta, gunjingan, fitnahan, caci-maki, menyinggung perasaan orang lain, menimbulkan pertengkaran dan melakukan pertengkaran berlarut-larut. Sebagai gantinya hendaknya ia memaksakan lidahnya agar diam serta menyibukkannya dengan dzikir kepada Allah dan tilawah Al-Quran. Demikian itulah puasanya lidah.

Bisyr bin Harits meriwayatkan ucapan Sofyan, “Gunjingan merusak puasa.”   Demikian pula Laits meriwayatkan dari Mujahid, “Dua hal merusak puasa : gunjingan dan dusta.”   Sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya puasa adalah tabir penghalang (dari perbuatan dosa).”

Maka apabila seorang dari kamu sedang berpuasa, janganlah ia mengucapkan sesuatu yang keji dan janganlah ia berbuat jahil. Dan seandainya ada orang lain yang mengajaknya berkelahi ataupun menunjukkan cercaan kepadanya, hendaknya ia berkata, “Aku sedang berpuasa. Aku sedang berpuasa.” (HR.Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

Pernah pula diriwayatkan bahwa di masa hidup Nabi SAW ada dua orang perempuan berpuasa lalu mereka sangat menderita karena lapar dan dahaga pada akhir puasa itu, sedemikian sehingga hampir-hampir binasa karenanya. Kemudian mereka mengutus orang yang menghadap Rasulullah SAW untuk memintakan izin bagi keduanya agar diperbolehkan menghentikan puasa mereka. Maka beliau mengirimkan sebuah mangkuk kepada mereka seraya memerintahkan agar kedua-duanya memuntahkan isi perut ke dalam mangkuk itu. Ternyata mereka memuntahkan darah dan daging yang segar, sepenuh mangkuk tersebut, sehingga orang-orang yang menyaksikannya menjadi terheran-heran. Dan Rasulullah SAW lalu bersabda,

“Kedua perempuan ini berpuasa terhadap makanan yang dihalalkan Allah tetapi membatalkan puasa dengan perbuatan yang diharamkan oleh-Nya. Mereka berdua duduk bersantai sambil menggunjingkan orang lain. Maka itulah daging-daging mereka yang di pergunjingkan.”  [HR. Ahmad dari Ubaid (maula Rasulullah SAW). Diantara sanadnya terdapat seorang yang tak dikenal (majhul)].

3. Menahan pendengaran dari mendengarkan segala sesuatu yang dibenci oleh agama. Sebab segala sesuatu yang haram diucapkan, haram pula didengarkan. Karena itu pula Allah SWT menyamakan antara orang yang sengaja mendengarkan sesuatu yang diharamkan dan orang yang sengaja mendengarkan sesuatu yang diharamkan dan orang yang memakan harta haram, seperti dalam firman-Nya, “Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong dan banyak memakan yang haram….”   (QS. 5:42)

Dan firman Allah pula, “Mengapakah orang-orang alim mereka serta pemimpin-pemimpin agama mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram?.”  (QS. 5:63)

Demikian pula sikap membiarkan pergunjingan dan tidak melarangnya, termasuk hal yang haram, seperti dalam firman Allah, “…Dan Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al-Quran, bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokan, maka janganlah kamu duduk bersama mereka, sampai mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena (jika tetap bersama mereka) kamu adalah bersama mereka….”  (QS. 4:140)

Rasulullah SAW pernah bersabda pula, “Orang–orang yang menggunjing dan mendengarkan gunjingan adalah serupa dalam dosa.”  (H.R.Ath-Thabraniy dengan beberapa perbedaan kata-kata)

4. Mencegah semua anggota tubuh lainnya dari perbuatan haram. Yakni tangan dan kaki dicegah dari melakukan atau menunjuk kepada segala yang haram. Demikian juga menjaga perut agar tidak dimasuki makanan yang subhat (meragukan) terutama pada waktu berbuka. Sebab tidak ada artinya seseorang berpuasa, menahan diri dari makanan yang halal, sedangkan pada saat berbuka dari puasanya itu, ia memakan makanan yang haram. Orang seperti ini dapat diibaratkan orang yang membangun istana sementara ia menghancurkan sebuah kota.

Dan pada hakikatnya, makanan yang halal pun dapat membawa mudharat karena banyaknya kadar yang dimakan, walaupun bukan karena jenisnya. Maka puasa dimaksudkan guna mengurangi kadarnya. Sama halnya seperti seorang yang tidak mau memperbanyak makan obat karena takut akan bahayanya. Jika orang tersebut menggantikan makan racun (walau sedikit) maka ia adalah seorang yang tidak sempurna akalnya.

Adapun makanan yang haram adalah racun yang membinasakan agama sementara yang halal adalah obat yang bermanfaat apabila digunakan sekadarnya, namun akan ber-mudharat apabila dimakan terlalu banyak. Maka puasa dimaksudkan guna mengurangi kadar yang dimakan itu. Dan telah diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda,

“Betapa banyak orang yang berpuasa sedang ia tidak mendapat sesuatu dari puasanya itu selain lapar dan dahaga.” (H.R An-Nasa-iy dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah)

Ada orang yang menafsirkan sabda Beliau tersebut berkaitan dengan orang yang berbuka dengan makanan yang haram. Ada pula yang berpendapat bahwa yang dimaksud oleh beliau adalah orang yang berpuasa (menahan diri) dari makanan yang halal namun ia pada hakikatnya telah berbuka dengan memakan daging orang lain, yakni dengan menggunjingkan mereka. Ada pula yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan itu adalah orang yang tidak mencegah dirinya dari perbuatan-perbuatan dosa.

5. Mencukupkan diri dengan makanan halal sekadarnya saja ketika berbuka. Jangan terlalu kenyang sehingga perutnya penuh dengan makanan (walaupun dari yang halal). Hendaknya diingat bahwa, “tak ada wadah yang dibenci Allah daripada perut yang penuh dengan makanan.”

Betapa mungkin seorang dapat mengambil manfaat puasa yang berupa penghinaan terhadap setan, musuh Allah, atau penekanan syahwat hawa nafsu, kalau orang yang berpuasa itu segera menggantinya – pada saat berbuka – dengan semua yang tidak dapat diperolehnya di siang hari?!. Atau adakalanya menambah-nambah berbagai jenis makanan seperti yang menjadi kebiasaan di kalangan masyarakat. Yaitu dengan menyimpan berbagai macam makanan untuk dimakan pada bulan Ramadhan sejumlah yang jauh lebih besar dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya!.

Tentunya telah diketahui bahwa tujuan puasa adalah mengosongkan perut dan mematahkan hawa nafsu agar jiwa menjadi kuat untuk peningkatan ketakwaannya. Maka jika alat pencernaan seseorang dikosongkan sepanjang hari sampai malam sehingga selera makannya bergejolak dan keinginannya makin kuat, kemudian diberi makan dari segala yang lezat-lezat sekenyang-kenyangnya, sudah barang tentu kesenangannya bertambah dan kekuatannya menjadi berlipat- ganda. Bahkan berbagai syahwat hawa nafsunya yang tadi masih terpendam, kini akan muncul dengan berbagai kerakusannya.

Jelaslah bahwa ruh puasa dan rahasianya yang tersembunyi ialah sebagai upaya memperlemah kekuatan-kekuatan fisik yang merupakan sarana-sarana setan dalam mengulangi kembali perbuatan-perbuatan dosa. Oleh sebab itu tidak akan tercapai ruh puasa kecuali dengan mengurangi kadar makanan yang di makan. Yakni mencukupkan diri dengan sekedar makanan malam yang biasanya ia makan pada hari-hari ketika ia tidak berpuasa. Adapun jika ia menambah makanan yang biasanya ia makan di siang hari dengan makanan malamnya, maka puasanya itu tidak akan bermanfaat baginya.

Lebih dari itu, diantara pelbagai adab puasa ialah hendaknya orang yang berpuasa tidak memperbanyak tidurnya di siang hari, agar ia benar-benar merasakan lapar dan haus serta makin melemahnya kekuatan tubuh. Dengan demikian, jiwanya pun akan menjadi jernih. Dan ia hendaknya tetap menjaga tetap berlanjutnya sebagian dari kelemahan itu hingga malam hari, agar terasa ringan baginya untuk ber-tahajjud dan tetap membaca wirid-wirid yang telah ia tetapkan atas dirinya sendiri.

Dengan begitu dapatlah diharapkan semoga setan tidak berani mendekati jiwanya, sehingga ia akan berhasil memandang kepada keajaiban kerajaan langit, terutama pada malam lailatul qadar. Lailatul qadar ialah malam yang ketika itu akan tersingkap sebagian kebesaran alam malakut. Yaitu yang di maksud firman Allah :

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan (Al-Quran) pada lailatul qadar.”  (QS 97:1)

Dan barang siapa yang menjadikan ruang antara hati dan dadanya sebagai gudang penyimpan makanan, maka akan tertutuplah ia dari pemandangan itu. Bahkan pengosongan perut pun tidak akan cukup untuk menyibak tirai penutup itu, jika himmah-nya tidak dikosongkan sama sekali dari apapun selain Allah SWT. Itulah asas segala-galanya. Dan hal itu harus dimulai dengan mengurangi makanan.

6. Hendaknya hatinya – setelah selesai berbuka – senantiasa terpaut dan terombang-ambing antara harap dan cemas. Sebab, ia tidak tahu apakah puasanya diterima sehingga ia termasuk golongan muqarrabin (orang yang didekatkan kepada Allah)? Ataukah ditolak sehingga masuk golongan mamqutin (orang yang dibenci oleh-Nya)?. Perasaan seperti itulah yang seyogianya menyertai dirinya setiap saat selesai melakukan ibadat.

Telah diriwayatkan bahwa Hasan Al-Bashri melihat (di bulan Ramadhan) sekelompok orang sedang tertawa terbahak-bahak. Ia berkata kepada mereka,

”Sesungguhnya Allah SWT menjadikan bulan Ramadhan sebagai arena bagi hamba-hamba-Nya untuk berlomba-lomba berbakti kepada-Nya. Maka sebagian orang yang berjaya karena berhasil keluar sebagai pemenang, dan sebagiannya lagi kecewa karena tertinggal di belakang. Karena itu, sungguh amat mengherankan, masih ada orang yang tertawa dan bermain-main pada hari kejayaaan orang-orang yang menang, dan kekecewaan orang-orang yang bertindak sia-sia! Demi Allah, seandainya tirai penutup yang gaib tersibak, niscaya setiap orang yang telah berbuat kebajikan akan sibuk dengan hasil kebajikannya, dan yang telah berbuat kejahatan akan sibuk dengan hasil kejahatannya!.”

Pernah ada seorang yang berkata kepada Ahnaf bin Qais,

“Anda seorang yang telah lanjut usia. Sedangkan puasa akan melemahkan fisik Anda!.”

Jawab Ahnaf,

“Memang aku menjadikannya sebagai bekal untuk suatu perjalanan amat jauh. Sabar dalam melaksanakan kebaktian kepada Allah lebih ringan daripada sabar menderita azab-Nya.”

[Diambil dari buletin Bina Qalbu Edisi-06 Tahun ke-1]

Sumber : bisyarah.wordpress.com

Tentang abizakii

"Seorang hamba Allah yang berusaha mengenal dan mencintai Nabi-Nya"
Pos ini dipublikasikan di Puasa dan tag , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar